Nak,
Kerajaan Saudi menutup kota Mekkah dan Madinah, berbagai kepala di seluruh dunia menambah kesabaran mereka lagi untuk bertandang ke tanah suci.
Kita sedang memaksa diri untuk tidak keluar rumah — kecuali sangat amat terpaksa. Sedikit agak kacau di permulaan, sebab oknum-oknum yang tak mau mendengarkan.
Saat Ayah menulis ini, dunia masih dalam kekacauan, kekacauan yang akrab dengan keheningan setelah hampir 3 pekan lalu Penguasa di negeri kita meminta penduduk untuk berdiam diri di rumah. Hening lantas menjalari berbagai penjuru kota, meski tidak sedikit pejuang lapangan harus tetap ada di jalan. Di tengah perang begini, tentu saja mereka kucing-kucingan. Sumber kehidupan mereka di jalan, karena upeti Penguasa tak bisa diandalkan, sekadar wacana.
Wuhan baru saja pulih, mereka yang menjadi tempat awal mula perang, berhasil keluar dan menang, perang melawan Corona, melawan musuh yang sama. Semangat mereka memberi harapan baru, bahwa kita juga bisa memenangkan perang ini.
India memutuskan memberlakukan karantina wilayah di negerinya, kekacauan terjadi mana-mana. Kerumunan yang tak boleh diadakan sebab memancing perhatian musuh — sengaja dilanggar penduduknya yang panik. Penguasa setempat tentu saja gusar, bersicepat mengusir penduduknya yang berkerumun di tengah-tengah kota. Pemandangan yang begitu miris di situasi begini, manusia memang tidak selalu siap berubah, terlebih jika ego yang memandu kepalanya.
Salah satu Jubir Penguasa di negeri kita lantang dalam pidatonya:
yang kaya melindungi yang miskin agar hidup dengan wajar
yang miskin melindungi yang kaya agar tidak menularkan penyakitnya
sedikit terdengar gila, ya? tapi di negeri ini, hal-hal seperti itu biasa terjadi, berargumen yang membuat emosi, Penguasa memang sulit dimengerti. Mencoba menenangkan penduduk tetapi seringkali tak berhasil. Penduduk sepertinya lebih paham bagaimana menenangkan dirinya. Penduduk lebih memercayai apa yang mereka lihat sendiri. Mereka tak lagi suka diperdaya angka-angka.
Tidak Nak, perang seperti ini tidak pandang bulu, tidak peduli kaya atau miskin.
Bangsa kita yang terbiasa berkerumun — tak bisa hidup sendirian, sekalipun ia seorang manusia kamar sekalipun — sedang dijangkiti harapan sekaligus pertanyaan kapan perang ini segera berakhir? Kami bosan hidup dalam keheningan.
Ayah hanya bisa berdo’a, sembari mencari hal-hal benar di sosial media. Semoga hal-hal baik selalu di depan mata. Sebab di situasi begini, rasa kemanusiaan dan kekompakan begitu diuji. Banyak oknum-oknum yang terang-terangan menimbun kebutuhan, menaikan harga setinggi-tingginya, menjalankan bisnis di saat situasinya tidak tepat.
Oknum-oknum panikan juga tak kalah nyeleneh. Sembari bersembunyi, mereka menimbun bahan makanan di banker bawah tanah untuk perut mereka sendiri — kerakusan merasuki mereka.
Bersyukur kita hidup di negeri yang senang berbagi senyum dan tawa, negeri kita punya banyak Komika, bahkan oknum Penguasa seringkali latah membuat lelucon, mungkin dalihnya sambilan. Komika sejati di negeri kita tentu saja tidak tinggal diam, mereka seperti halnya relawan tenaga kesehatan, membantu logika dan kewarasan penduduk bertahan.
Dokter dan tenaga kesehatan sudah menjelma tentara. Siasat dan keputusan cepat mereka sangat penting di medan tempur. Sehat-sehat dan panjang umur!
Situasi semacam ini memaksa berjibaku dengan tenaga, dengan kesabaran, dengan materi, dan tentu dengan do’a.
Konon, buku dan film fiksi sering meninggalkan pesan
Hanya dengan wabah, bumi bisa sembuh dari keserakahan
Oh iya, satu sore kemarin, Ayah menurunkan bakat pada keponakan yang lucu-lucu; mengendalikan angin, menerbangkan layang-layang singit. Tawa mereka membuat Ayah semakin yakin, bahwa kita akan memenangkan perang ini.
Pada Yang Maha segala harapan baik bersandar.
Semoga di dermaga ini, kapal pembawa kesembuhan segera menanamkan jangkar.
Menjelang Ramadhan, 2020.
3 April di Medium @nasuhadinata
Comments
Post a Comment