Nak,
Jika kau bertanya pada Ayah, apa yang paling menyakitkan di dunia ini? Mungkin jawaban Ayah; sesakit-sakitnya dihina manusia, tentu yang paling menyakitkan adalah hinaan bertubi-tubi dari orang tua sendiri. Seolah saat itu, waktu membeku, hidup terhenti.
Tetapi Ayah tak berdiam diri, Ayah mencari jawaban dari segala pertanyaan kenapa dunia Ayah seperti ini, kemudian Ayah mulai memahami:
Menjalani hidup sebagai manusia itu tidak selalu mudah, tidak selalu menyenangkan, tidak selalu lancar-lancar saja. Sesekali kau akan masuk ke dalam ruang belajar bernama hinaan. Sebab kita hidup berdampingan dengan manusia lainnya, di mana tiap-tiap kepala memiliki pemikiran yang berbeda-beda. Kadang cenderung positif atau sebaliknya. Kadang bersisian, kadang berseberangan.
Orang yang tak kau kenal bisa saja menghinamu. Menghinamu dengan nada meremehkan, kadang ia menyinggung soal fisikmu, kadang ia mengait-ngaitkannya dengan strata sosialmu, kadang pula ia mendiskreditkan pendidikan atau bahkan mungkin menyebut-nyebut kelemahan dirimu yang lainnya. Atau di sosial media, kadang yang tak berkaitanmu pun bisa ia sebut, bukan betulan menghinamu, boleh jadi hanya butuh perhatianmu.
Tatkala dirimu dihina, tentu saja rasanya ingin melawan, ketimbang berlari, kau lebih memilih menyerang balik, sebab egomu tersentil bukan main, setelah segala upaya yang telah kau keluarkan dan banyak waktu yang sudah kau berikan untuk menjadi semaksimal mungkin — dengan mudahnya seorang oknum mengatakan bahwa dirimu tak pantas, tak layak, atau tak cukup kompeten untuk menjadi sepenuhnya di bidangmu.
Kau hanya perlu menerima itu, saat itu mungkin kau masih tak banyak tahu apa-apa — manusia mana yang merasa dirinya benar dan serba pintar? sedangkan semua yang ada pada dirinya hanyalah titipan? boleh jadi hanya manusia sombong yang seperti itu —tak tahu apa-apa bukan berarti bodoh betulan, tentu saja masih belum banyak mengerti, masih perlu belajar banyak hal, menguasai diri, mengendalikan emosi.
Selalu ingat bahwa, ketika kau dihina seseorang, mungkin kau merasa ia tega sekali. Ketahuilah, hanya itu cara yang bisa mereka lakukan saat itu juga. Seperti orang tua yang marah pada anaknya dengan bahasa paling kasar sekalipun, boleh jadi orang tuanya tak banyak memahami cara mendidik selain marah saat buah hatinya berbuat salah.
Oh iya, sampai saat ini mari bersepakat, Ayah akan lebih sering menyebut orang baik dengan sebutan Guru, seorang guru sebagai Pendekar, dan seorang jahat sebagai Oknum.
Kau juga tidak harus serta merta mengklarifikasi saat itu juga, sebab kita tahu
orang yang menyukaimu tak butuh itu, orang yang membencimu tak percaya itu
Ada banyak orang yang dendam lalu menjadi sukses di kemudian hari — ia dendam, tetapi lebih sadar untuk fokus pada kemampuannya sendiri. Ada pula yang memilih menjadi pemaaf, lalu melanjutkan hidup. Kita perlu mendahulukan berpikir dan menguasai diri sebelum amarah yang tidak perlu malah melukai.
Seorang guru pernah berpesan “sakit yang tidak membuat kita mati, akan membuat kita lebih kuat”. Hinaan tak ubahnya daya tahan tubuh yang bertambah kuat, setiap kali kau pulih dari sakit. Hinaan barang tentu menaikan levelmu, seperti halnya permainan bertingkat, kita akan dibuatnya penasaran, penasaran untuk mengukur sejauh mana kemampuan kita bertahan. Gagal coba lagi. Jatuh bangkit lagi. Sampai akhirnya, rintangan menjadi bagian yang kau anggap menjadikan permainan(hidup) bertambah seru.
Tenang saja nak, seorang Pendekar juga pernah berpetuah “bahkan manusia paling sempurna di muka bumi saja dicaci dan dibenci banyak orang” — jika kita kecipratan hal yang sama, tak mengapa, kita bahkan tak sempurna, kan?
Jika kau dihina, jangan rendah diri, angkat wajahmu dan bawa kepercayaan dirimu lagi tinggi-tinggi. Mereka yang menghina, boleh jadi memang tak mahir bagaimana mempergunakan waktu.
Fokus saja pada orang-orang yang membantumu tumbuh — yang tak memilih menjadi kerikil dan membuatmu jatuh.
Tetapi hinaan tak berarti tak baik, ia adalah pengingatmu, ia memberitahu harus bagaimana kau mendefinisikan dirimu, menjadi sama dengan para penghina atau menjadi seorang yang lebih baik dan dibutuhkan dunia?
Adakah yang lebih buruk dari menghina orang lain? Tentu ada, yaitu ketika kau menghina dirimu sendiri — ini tak ada bedanya dengan meragukan ciptaan-Nya.
Berdamailah kendatipun hinaan manusia sesekali menghalangi setapak jalanmu. Percayalah bahwa hal baik sudah disiapkan-Nya untukmu.
Jika kau merasa jatuh, lemah, atau tak percaya diri saat dihina, baca petuah Pendekar ini
Jangan sekali-kali meremehkan kekuatan manusia, karena Tuhan sekalipun tidak pernah!
Mari Nak, mari lanjut menebar baik ☺
Bunker Penduduk, Medan Tempur Melawan Corona, 2020.
5 April di Medium @nasuhadinata
Comments
Post a Comment