Nak #1

Halo Nak,
apa kabar mimpi-mimpi sederhanamu? mimpi yang membuatmu seringkali bertanya 'kelak, mau jadi apa?'

Manusiawi sekali mendapatkan hal-hal instan dalam hidup ini. Terutama saat dunia kita genggam melalui ponsel cerdas yang kita beli dari tabungan yang susah payah kita kumpulkan atau yang sebagian uangnya kita dapat dari kemurahan hati orang-orang terdekat kita.

Ah, betapa enak membayangkan menjadi mereka, para influencer yang youtube dan instagramnya kita subscribe dan follow, uang dan tawaran demi tawaran membanjiri dompet mereka--padahal hanya bermodal wajah kece dan kemampuan editing video yang pas-pasan. Sementara di seberang mereka, kita duduk manis, menonton detik demi detik, menit demi menit, menyumbang adsense (pendapatan) untuk mereka tanpa kita sadari.

Mungkin, ada titik di mana dirimu pernah berpikir 'hidup kok gini-gini aja sih?' Memulai hari dengan makan, buka smartphone, marah-marah di sosmed gegara konten yang barangkali tak sesuai etika, tertawa di depan video dari akun-akun hiburan, atau 'enak banget sih hidupnya' saat melihat kebahagiaan orang lain muncul di timeline atau di story sosmed kita. Dan terus berulang setiap hari.

'aku pengen jadi kayak dia deh' ucapmu yang secara tak sadar sudah ribuan kali kau lakukan, tetapi semua hanya tertahan di ucapan. Apa yang salah? 'entah' katamu.

Nak, seorang penulis yang akrab disapa Dee pernah berucap:
Kamu ingin cinta. Tapi takut jatuh cinta. But you know what? Kadang -kadang kamu harus terjun dan jadi basah untuk tahu air. Bukan cuma nonton di pinggir dan berharap kecipratan.

Masalahnya, sudahkah kita mulai memungkinkan mimpi-mimpi kita terjadi? Sudahkah kita memulai itu semua menjadi nyata? Atau memang kita lebih senang jadi penonton ketimbang menjadi aktornya? Sudahkah kita menyingkirkan ketakutan-ketakutan yang bergumul di benak kita? Ketakutan akan kegagalan, ketakutan akan dibully orang-orang, ketakutan akan tak dipedulikan dan tak direspon orang-orang, dan ketakutan-ketakutan lain yang hanya ada di pikiran kita?

Coba bayangkan Nak, seandainya seorang Thomas Alfa Edison takut bola lampu pijarnya tak digunakan orang-orang, boleh jadi hari ini kita hidup dengan lilin di malam hari, lampu tempel atau bahkan petromax sebagai penerangan. Boleh jadi kita lebih senang menggunakan lampu LED yang ada di smartphone kita?

Nak, mungkin kita sudah paham banyak teori-teori. Yang tentu saja hanya sekadar teori, tapi tak pernah kita lakukan sebagai upaya kita. Berapa banyak waktu kita terbuang hanya untuk memikirkan ketakutan-ketakutan? Berapa kali kita menunda hal-hal hebat yang mungkin saja bisa mengubah hidup kita?
Konon, kita mesti menerapkan konsep stalking dalam hidup kita:
tak dilihat bikin penasaran, dilihat ada kemungkian menyesal atau malah sebaliknya.
Iya, tidak dicoba cuma halu, dicoba ada kemungkinan gagal atau malah sukses. Dan cepat atau lambat, boleh jadi kita akan menyadari:
lebih baik gagal karena sudah mencoba, daripada gagal tapi cuma ngomong doang.
Pernahkah kau membayangkan mengajak keluargamu liburan dengan uang yang kau kumpulkan dari jerih payahmu? atau setidaknya menjadi seorang dermawan yang membuat sekolah untuk orang-orang yang tak beruntung? atau mungkin menyenangkan hati orang lain dengan uang yang bisa mereka belikan apa saja untuk orang-orang terkasihnya?

Menanamkan rasa bahagia di hati orang lain sudah sepantasnya menjadi kewajiban kita. Mari, sudah waktunya, kita mulai dengan hal-hal sederhana, kecil, cemen, remeh temeh, dan boleh jadi, hanya itu yang mengusir ketakutan-ketakutan kita dan memberi tahu kita bahwa hal-hal istimewa yang terjadi di hidup orang dimulai dari hal-hal kecil, hal-hal cemen sekalipun.

Bukankah Yang Maha Memudahkan segala urusan tidak pernah tidur? Berdo'a agar dimampukan, agar dikuatkan. Sebab kita tak akan pernah tau kapan hidup kita berubah? Maka dengan itulah kita juga diwajibkan berusaha. Do'a dan mimpi yang baik adalah do'a yang diusahakan menjadi kenyataan.

Jadi Nak, sampai kapan kita mau jadi penonton? yang mengusap-usap layar handphone, share screenshot percakapan whatsapp yang sama sekali tidak menghasilkan apa-apa untuk orang lain?--melainkan hanya memuaskan ego kita sendiri?

Yang Ayah lihat, orang-orang di sekitarmu yang kau anggap hebat, sama-sama menangis ketika dilahirkan. Tetapi, kenapa kita berbeda dengan mereka? Mungkin ketika memasak mie instan, mereka bersedia memasak dan menikmatinya--meski harus bergerah-gerahan, bukan hanya duduk di warung pinggir jalan dan minta dilayani 'bu, mie instan satu ya, pake telor'. Iya, orang-orang besar tentu saja mau menikmati proses memasaknya. Barangkali kita juga harus memulai memasak impian-impian kita menjadi hasil yang amat sangat layak nikmati?

Oh iya, ini rahasia di antara kita saja ya Nak,
sebelum tulisan ini sampai kepadamu, Ayah sedang berencana menulis bagian ke-2 nya, Ayah pikir, untuk sampai ke bagian ke-2, Ayah mesti menuliskan bagian pertamanya terlebih dahulu, sebab tak mungkin jika Ayah meminta orang lain menuliskan bagian pertamanya. Sangat tidak masuk akal, kan? padahal tulisan ini bersumber dari ide ayah sendiri. Jadi, kenapa orang lain yang mesti memulai? Hehe

Ayah kira, berhenti belajar sama halnya dengan berhenti bermimpi, dan berhenti bermimpi sama halnya dengan merencanakan kegagalan.

Coba tanyakan kembali, apa kabar mimpi-mimpimu? sudahkah ia kita upayakan dan do'akan sehingga benar-benar menjadi kenyataan?

Salam sayang,
Ayah--yang mencintaimu melalui pembuktian kata-kata.
Pamulang, menjelang waktu sahur 26 Mei 2019

Comments