Paling tidak, ada satu dua hal menarik kutemukan saat mengendarai motor di antara
dingin malam yang berusaha menembus pori-pori sweaterku--sepulang dari Kelas
Menulis Kafe Ruang Tengah yang dimentori langsung oleh Pak Guru Fahd Pahdepie a.k.a
Fahd Djibran.
Sebentuk pemantik ajaib masih menjangkiti benak, lantas saja menjelma
sebungkus pertanyaan; kapan mau nulis
lagi? Kapan mau bikin karya lagi? Kapan mau nunda untuk menunda melakukan dua
hal itu?
28 Maret 2018 menjadi catatan tersendiri bahwa, pertama kalinya aku telat
hadir dalam kelas menulis gratis (belakangan kusadari bahwa ini bukan kelas
yang melulu gratis, sebab Kafe Ruang Tengah tetap merogoh kocek kami untuk
sekedar membeli iced lemon tea :D ). Alih-alih sudah hadir jam 18:30 WIB, aku
malah tiba jam 19:40 lebih.
Tidak mengikuti kelas sedari awal tentu saja menimbulkan serangkaian
pertanyaan di kepala. Di akhir pertemuan, beberapa kawan kutodong untuk menjawab
pertanyaan “yang ‘bagian tadi itu’ maksudnya apa ya?” sampai akhirnya aku menyimpulkan;
“waduh, ini sih harus nonton pertemuan 5 di channel Youtube Fahdisme Video nih”.
Ketika beberapa kawan sudah berlalu ke peraduannya, kursi kayu Kafe Ruang
Tengah tetap memberi magnet tersendiri bagi beberapa murid (termasuk aku),
sebab di akhir kelas kadangkala tersaji diskusi dadakan bersama Pak Guru Fahd
langsung atau teman kelas lainnya. Seperti halnya malam itu, setelah beberapa di antara mereka memamerkan tajinya
untuk sharing karya dengan cara berpuisi di hadapan Pak Guru, kami berdiskusi.
Adalah Bang El dan Bang Andri, kawan bicara yang akhirnya kuketahui sempat menjadi
seorang penggila novel karya Tere Liye, sementara yang satunya ialah seorang mahasiswa Sastra Arab.
Basa basi tempat tinggal dan latar kesibukan menjadi sebuah perkenalan di
kebanyakan pertemuan. Diskusi kami tidak begitu cair, tapi setidaknya, kami mulai
mengakrabi keresahan kami.
Kambing hitam memang selalu mengompori kami untuk menunda menulis. Bang El
yang sibuk membesarkan usaha warungnya, Bang Andri yang termoderasi oleh keahliannya
sendiri dalam mengkritisi karya orang lain, dan aku yang punya masalah terhadap
‘kenyamanan’ dan ‘jam terbang’, membuat kami terpaksa menjadikan ‘maha karya’
kami tersudut di pojok folder dalam beronggok-onggok draft. Lantas saja membuat
pikiranku bernosltagia dengan kata-kata kawanku, Al Muh, yang pernah menirukan
kalimat Ernest Hemingway “semua draft adalah sampah”.
Beberapa ‘cara gampang’ yang aku dan Bang El upayakan berujung pada; menggunakan
fitur stories atau status whatsapp untuk sekadar berbagi tulisan. Sementara
Bang Andri memang sengaja menyimpan karya tanpa di-publish, ia menunggu momen
tertentu untuk menyampaikan karyanya; seperti membaca puisi di atas panggung. Amatiran
seperti kami (sebetulnya bukan kami, tapi aku) barangkali belum memanfaatkan sosial
media sebagaimana mestinya.
***
Aku jadi tergugah untuk menyampaikan sebuah kalimat dari mantan bosku di
Bandung sana “seorang yang banyak alasan, itu berarti, masih ada buntut di
kepalanya”
Semisal, aku pergi ke kantor pagi-pagi, sesampainya di kantor, aku berkata
pada atasan “maaf telat pak, kejebak macet”. Dalam kalimat barusan buntut atau
kambing hitamnya adalah ‘macet’. Ya, aku menjadikan macet sebagai penyebab terlambat
datang ke kantor. Padahal, aku seharusnya sadar penyebab telat adalah diriku sendiri
yang tidak datang lebih awal. Toh, macet sudah menjadi bagian dari Indonesia,
terlebih kota-kota besar, kan?
“Ah, kau memang masih amatiran, senang
mengemas ‘kekurangan’ dan ‘kesibukan’ sebagai alasan. Padahal banyak penulis
senior di luar sana yang tetap berkarya meski harus cuci darah setiap minggu,
mengetik dengan satu tangan, bahkan mengetik dengan satu jari sekalipun!” kataku
sambil bercermin.
Aku jadi teringat konsep 5 Mengapa ala Socrates yang dipaparkan Pak Guru
Fahd di pertemuan perdana.
“Mengapa kamu menulis?” tanyakan sebanyak 5 kali kepada diri sendiri, semakin
ditanya alasannya, semakin sulit jawabannya. Semisal;
“Mengapa kamu menulis?”
“sebab ingin terkenal”
“Mengapa kamu ingin terkenal?”
“...” dan seterusnya. Jawaban terakhirmu adalah alasan terkuat dari
pertanyaan “mengapa kamu menulis?”. Konsep ini juga bisa kau tanyakan kepada
pasanganmu “Mengapa kamu memilihku?” hihihi.
Hmm.. Sebaiknya, aku harus seringkali bertanya pada diri sendiri; mengapa aku menunda menulis? Mengapa aku
menunda berkarya? Mengapa aku tidak menunda untuk melakukan penundaan-penundaan
itu?
Bukankah ada
benarnya kata Surayah Pidi Baiq “Ya itu dia, ketika kamu sibuk berpikir mencari
inspirasi, orang lain justeru sedang berkarya tanpa banyak pikiran” ?
***
Pertemuan 5 dan pertemuan perdana kelas menulis diisi oleh peserta yang
sama banyaknya, cukup membludak, berbeda dengan 3 kelas sebelumnya. Dan diskusi
kami malam itu, kugaris bawahi kata-kata Bang Andri yang lebih kurang begini “soal
peserta, seleksi alam sih, di kelas ini, ada orang yang memang pembuat karya, dan ada
yang cuma sebagai penikmat karya”.
Disusul kalimat Bang El yang menyampaikan ulang ucapan Pak Guru Fahd “mungkin,
nggak semua yang ikut kelas ini akan jadi penulis, setidaknya, bisa menjadi
seorang pencerita yang baik”.
Hei. Lantas, kita, mau jadi yang mana?
Demikian dan terimakasih sudah mampir sekadar menikmati sampah ini, maaf
jikalau terlampau busuk. Sampai jumpa di keranjang berikutnya!
Salam Aksarable!
Nasuha Dinata
TangSel, 29-30 Maret 2018
Comments
Post a Comment