Minggu ini aku sibuk, kembali fokus ‘mengganggur’, mencuci segunung pakaian, dan berkutat dengan sebuah buku. Buku ketiga dari seorang musisi dari tanah Bandung, yang kubeli bersamaan dengan sebuah buku lainnya yang juga ditulis oleh penulis berdarah sunda. Sebetulnya buku ini sudah hampir sebulan kubeli, tetapi baru sempat kubaca minggu ini, karena alasan ‘mondar-mandir ke kantor’ sebagai karyawan baru di perusahaan konsultan yang sempat kujalani di tanah rantau ini.
Seiring keputusanku mundur sebagai desainer grafis pemula, minggu lalu, aku menodong seorang gadis Majalengka, adik kelas sekaligus kawan satu indekosku yang pada akhirnya lebih dulu ‘memerawani’ buku ini, ya, tentu saja aku sengaja memberinya kesempatan membaca, sebab kupikir, buku koleksi akan bermanfaat ketika seorang lain mau meminjam dan membacanya, bukan bermanfaat ketika kita selesai membacanya, lalu terbengkalai begitu saja, entah di almari, rak, atau kardus.
Buku menjadi jajanan rutin untukku pribadi, tepatnya ketika 2 tahun lalu aku bekerja dan menghasilkan uang sendiri. Ada sesuatu yang kurang di kepala tatkala tak ada buku baru yang memenuhi kamarku, sejujurnya, aku lebih senang pamer buku baru daripada pamer gadget. Toh, pamer buku bisa bermanfaat buat orang lain, maksudnya ? Ada kemungkinan besar, mereka akan meminjamnya, tentu saja bukan untuk bungkus cabe, tetapi untuk konsumsi bagi otak mereka. Kalau mereka jaim dan nggak enakan untuk sekadar meminjam, dijamin, mereka terinsiprasi dan diam-diam bersegera ke toko buku terdekat untuk membeli buku yang sama. hihihi.
Buku adalah jajanan termurah yang bisa dikonsumsi kapan saja. Jika kau suka ruang-ruang opini, di internet ada banyak kolom yang bisa kau jumpai di sana. Cukup mengandalkan jari dan paket data, kau bisa mencari banyak hal dibantu Google. Akan tetapi, kolom opini di internet tidak setara buku, ya mungkin dari segi isi terlalu menginti. Sedang jika kau suka membaca cerpen, di jagat maya tersebar luas, hanya saja tetap terbatas, dari sisi halaman dan panjang cerita, namanya juga cerita pendek.
Di tengah badai berita yang mengarah pada menggiring opini dan jauh dari fakta, kupikir(sebagai seorang yang hampir setiap hari berkutat dengan komputer), membaca berita di internet paling asyik adalah berita tentang teknologi, kenapa ? rumor-rumor teknologi di internet bukan seperti gosip-gosip artis ibukota yang sebetulnya terlalu banyak framing dan mencari rating, kemunculan teknologi baru hampir 100% sesuai dengan rumornya, kau hanya perlu bersabar dalam beberapa bulan ke depan untuk peluncuran gagdet dan perwujudan konsepnya, mirip halnya dengan kau bersabar menunggu film bajakan keluar di situs-situs nonton film bioskop ilegal. haha.
Tapi, bicara soal kebiasaan menonton, di sepanjang 2017 ini, kupikir, masyarakat kita masih lebih senang menonton dibandingkan membaca, apalagi kemunculan film drama impor sedang gencar-gencarnya, entah di televisi maupun di Youtube yang katanya lebih dari tivi(lebih apanya dulu nih?). Coba tanyakan pada kawan di sebelahmu atau pada dirimu sendiri, kapan terakhir kali menonton sesuatu yang berwujud audio visual (video) ?
Menurut Fiersa Besari, konten cinta, komedi, dan horor adalah yang paling laku di bangsa ini. Jadi cukup wajar tontonan di bangsa kita dapat dengan mudah ditebak genrenya.
Sejujurnya, menonton dan membaca itu jauh berbeda, ketika membaca; kita berimajinasi tanpa batas, sedangkan ketika menonton; imajinasi kita justru dibatasi. Dan buat kita yang sudah merasa mengkhatamkan novel Dilan, tidak perlu kecewa dengan karakter Dilan di filmnya, sebab Dilan yang kamu imajinasikan belum tentu sama dengan sosok Dilan yang kuimajinasikan, jika dari bacaan saja imajinasi tentang Dilan bisa multi-imaji, bagaimana mungkin karakter Dilan di filmnya harus multi-imaji? yang ada malah filmnya nggak jadi tayang karena terlalu repot memuaskan ego jutaan pembaca Novel Dilan yang mengharuskan pemeran Dilan sesuai dengan imajinasi mereka(termasuk aku). Seperti yang aku sampaikan tadi, ketika membaca; kita berimajinasi tanpa batas, sedangkan ketika menonton; imajinasi kita justru dibatasi. Maka biarlah sosok Dilan di kepala kita tetap Dilan yang kita kenali, bukan yang dipatenkan sang sutradara mulai 25 Januari 2018 nanti.
Sejujurnya, menonton dan membaca itu jauh berbeda, ketika membaca; kita berimajinasi tanpa batas, sedangkan ketika menonton; imajinasi kita justru dibatasi. Dan buat kita yang sudah merasa mengkhatamkan novel Dilan, tidak perlu kecewa dengan karakter Dilan di filmnya, sebab Dilan yang kamu imajinasikan belum tentu sama dengan sosok Dilan yang kuimajinasikan, jika dari bacaan saja imajinasi tentang Dilan bisa multi-imaji, bagaimana mungkin karakter Dilan di filmnya harus multi-imaji? yang ada malah filmnya nggak jadi tayang karena terlalu repot memuaskan ego jutaan pembaca Novel Dilan yang mengharuskan pemeran Dilan sesuai dengan imajinasi mereka(termasuk aku). Seperti yang aku sampaikan tadi, ketika membaca; kita berimajinasi tanpa batas, sedangkan ketika menonton; imajinasi kita justru dibatasi. Maka biarlah sosok Dilan di kepala kita tetap Dilan yang kita kenali, bukan yang dipatenkan sang sutradara mulai 25 Januari 2018 nanti.
Kembali soal membaca, entah, sampai kapan buku fisik akan tetap eksis, mengingat kemajuan teknologi sudah menghadirkan e-book sebagai alternatif dari penggunaan kertas. Meskipun sensasi saat membaca e-book dan buku fisik tetap jauh berbeda. Akankah toko buku fisik akan menghilang ? kemungkinannya selalu ada, kan ? Hilang ataupun tidak, semoga minat membaca kita tetap ada. Karena membaca, menambah wawasan, membuka pikiran. Kalau sekedar mencari hiburan dan motivasi, kukira, buku lebih lengkap daripada film. Ada sesuatu yang tak kau temukan di film, tetapi berserakan dalam sebuah buku. Jadi, jangan lupa membaca. Setidaknya satu buku, cobalah, hati-hati ketagihan!
Alhamdulillah, terimakasih kepada penulis yang sudah menerbitkan buku, sehingga bukunya kubaca dan berimbas kepadaku yang mulai menulis panjang lagi, setelah sebulan lebih vakum.
Dan kepada teman-teman, terimakasih sudah menyempatkan mampir ke sini meskipun tulisan ini nggak nyambung, jangan marah, yah, namanya juga sampah pemikiran, ya isinya cuma ‘sampah’. hihi.
Salam Aksarable!
Nasuha Dinata,
26 Desember 2017
Comments
Post a Comment