Nostalgia Rasa #3




Atmosfir Depok sedang bersahabat, Aku dan Rizki butuh waktu 1 jam lebih untuk tiba di sebuah cafetaria yang telah kami dan Mbak Siska Sepakati.

"Mas, kenapa nggak nulis buku tentang komputer aja?" air wajah Mbak Siska tampak heran setelah setengah jam lebih aku memperkenalkan diri dan mengatakan padanya bahwa aku ingin menerbitkan sebuah novel.

"Mungkin aja sih mbak, tapi" kalimat ini muncul dari Rizki, lantas saja membuat kami bertiga saling lirik satu sama lain, kemudian mentertawainya. Rizki memang seringkali bertingkah konyol, termasuk menjawab pertanyaan Mbak Siska yang sebenarnya ditujukan kepadaku.

"kalau saya nulis buku-buku tentang komputer"
"ya gimana ya Mbak"
"secara otomatis imajinasi saya tidak akan berperan di dalamnya" jelasku setelah tawa kami mereda. Senyum Mbak Siska tersimpul tipis, menggangguk kemudian. Sementara Rizki mulai asyik menggrogoti sosis bakar jumbo yang telah ia taburi saus dan mayonaise. Sesekali mengulurkan sosis seujung garpu ke arah wajahku sambil berkata "Mau nggak?" disusul kalimat "Sini, aku suapin.."

Mbak Siska sebenarnya bukan seorang editor cerita fiksi, semacam novel. Beliau adalah editor buku pendidikan sekolah di salah satu penerbit besar di daerah Selatan Jakarta. Darinya, aku paham bahwa masa ini adalah masa yang menantang, dimana seorang calon penulis dituntut punya banyak 'followers' di sosial media. Dalam arti, punya banyak kontribusi karya sehingga secara sadar atau tidak, calon followers akan mengklik tombol 'follow' atau 'subscribe' sebab karya kita dinilai memang pantas untuk mereka 'ikuti'. Sisi inilah yang diharapkan, nantinya mampu mendongkrak pemasaran karya, tentu saja.

Seusai membicarakan soal "Adobe Indesign" aplikasi yang biasa dipakai editor suatu penerbitan sekaligus menawarkan pekerjaan 'editor' sampingan kepadaku, Mbak Siska segera pamit sebab ada tugas mendadak yang hasilnya harus segera dilaporkan kepada bos besarnya esok pagi. Kami berpisah di pintu keluar cafetaria, sekaligus berterimakasih pada Mbak Siska atas jamuan ilmunya malam itu.

Di bangku penumpang dengan laju motor kecepatan wajar, bias-bias lampu trotoar menerpa kaca helmku bersama hembusan angin malam yang lantas saja membawaku kembali ke rumah, sekaligus mengirimku pada serangkaian nostalgia rasa, kepada apapun tentang Syatila.

***

"Halo.."
"Sya.." Aku menyapa Syatila sembari menunggu pesananku tiba di parkiran sebuah bengkel yang telah disulap menjadi meja jajanan pecel lele di kawasan Cinere. Dua puluh meter dari jangkauan Rizki duduk. Jam 22:15, atau mungkin lebih.

Perjalanan pulang kami dihentikan paksa oleh perut yang minta diberi asupan nasi. Bukankah makan sosis bakar tadi belum termasuk makan malam kami?

"Halo kak.." balas suara di seberang telepon. Lantas saja membuatku bimbang, basa-basi apa yang pas untuk kukirimkan kali ini.
"Kenapa nelpon kak?" menyayangi adalah hal terkonyol, bahwa cinta bisa membuat kita lupa cara memilih kosakata.

"Mmm.. kamu sibuk Sya?" kumulai berbasa-basi.

"Nggak kok kak, aku lagi gosok aja" Syatila mengonfirmasi bahwa ia tengah menyetrika pakaian.
"Ada apa kak?"

"Mm.."
"Sya.."

"Iya.. Kak?" Aku bisa menebak, Syatila pasti mengira ada yang aneh denganku.
"Boleh minta waktunya sebentar?" Aku memaki dalam hati. Astaga bung! pertanyaan macam apa ini ?

"Iya boleh kak"
"Tapi maaf ya kak, akunya sambil gosok.. hehe"

"Oh, iya, nggak apa-apa Sya"

"Mmm.."
"Emang, ada apa ya kak ?" tanyanya lagi. Maaf Sya, kakak salah nanya. Aku menepuk jidat sendiri.

Kamu kemana aja Sya? ada hasrat mengatakan hal itu. Tapi, aku mengurungkannya.

"Ada yang mau kakak omongin" lagi-lagi jawabku, basi. Kali keduanya, kutepuk jidat sendiri.

"Oh.."
"Iya, ngomong aja kak.."

Malam itu, Syatila tidak lagi terasa antusias menjawab telepon dariku seperti hari-hari sebelumnya. Ada segelintir pertanyaan, kamu kenapa Sya? sudah jarang muncul lagi di inbox Kakak ?

"Sebenernya.."
"kakak udah lama pengen nanyain ini.." Mudah-mudahan ini kalimat yang tepat.

"nanya apa kak?" Syatila menunggu kelanjutan kalimatku. Di antara gugup, mencari kata-kata yang tepat.

"soal kita.." Aku berusaha mengarahkan pembicaraan ke topik yang sebenarnya, meskipun aku menyadari bahwa Syatila paham betul maksudku.

Namun, kalimat terakhirku tak terbalas dari seberang sana, Syatila tak merespon.

"Sya.." aku memeriksa bahwa telinganya masih terjaga mendengarkanku.

"Halo"
"Sya.."
"Halo.."
"Tes.. satu.. dua.. tiga.."

Aku melepaskan ponsel dari telinga, berusaha men-tap layarnya berulang kali. Sial, baterai ponselku habis.

"Gimana bang?" Rizki penasaran saat aku berjalan ke kursi plastik di hadapannya.

Aku menggeleng sambil meraih kursi dan memamerkan layar ponsel yang tak lagi bisa menyala kepadanya.

"Yaaahh" Rizki kecewa, aku lebih lagi.

***

"Kakak jadi ikut?" ini adalah kali kesekian kami berbicara via telepon. Syatila menanyakan keikutsertaanku dalam rencana perjalanan ke kawasan Dataran Tinggi, Jawa Tengah. Kami berdua kian akrab dari obrolan tentang kebesaran Sang Pencipta: Gunung Papandayan dan warna langit yang selalu kami sukai.

"Maafkan kakakmu ini Sya"
"kakak ngga jadi ikut" aku mengonfirmasi.

"Yaaah.. terus uangnya gimana kak ? angus dong kak ?" nada kecewa terdengar dari kalimatnya. Entah kecewa karena uang trip ini akan hangus atau kecewa karena aku tidak ikut serta.

"iya, tapi, daripada angus, kakak udah minta Rizki yang berangkat" jelasku.

"Oh.. gitu ya Kak.."
"E.." Syatila mencoba mengeluarkan kalimat berikutnya.

"Kak Rama lagi ngapain?!" namun tetiba suara seorang anak kecil terdengar di seberang sana. Aku bisa mengenalinya.

"Halooo.. " aku refleks menjawab tanya itu.
"Eh, Itu Kila atau Marwa ya?" bersicepat mengonfirmasi Syatila.

Syatila terkekeh dengan tingkah kedua keponakannya.
"itu Kila kak" katanya, berusaha mengendalikan bicara dan tawanya.

"Owh.. hehehe" aku ikut terkekeh.
"Haloo Kilaaa" suaraku berusaha menjangkau seorang anak di dekat Syatila.

"kalian mau ngomong sama Kak Rama nggak?" suara Syatila mengecil, tengah menawarkan anak-anak itu.

"Kak, ada yang mau ngomong sama kakak nih?" ia berbisik di detik kemudian. Terdengar suara-suara ponsel Syatila yang pindah tangan.

"Halooo Kak Ramaaa" sapa dua anak itu berbarengan.

"Halo Kila.. Halo Marwa.." jawabku.

"Kak, main ke sini dong.." pinta Kila.

"Iya Kak, kapan kakak main ke sini?" timpal Marwa, merengek.

"Iya, iya.. nanti ya Ila, Awa" Kataku.

"Cieee.. ada yang kangen sama kak Ramaaa.." Syatila menyusupi obrolan kami, menggoda keponakannya.

Kemudian yang terdengar hanya tawa gadis dan anak-anak kecil di seberang sana.

"Cieee mukanya merah.. Hahaha" Syatila menertawakan salah satu keponakannya. Sambil kudengar tawa mereka kian ramai. Tentu saja, aku ikut tersenyum sendiri.

Obrolanku bersama Kila dan Marwa (yang sesekali masih diselipi ledekan dari Syatila) tentang kegiatan mereka hari itu, juga rasa penasaranku soal Maula yang sejak tadi suaranya tidak terdengar. Maula, teman satu sekolah Kila dan Marwa yang belakangan kuketahui memang sedang jarang main ke rumah mereka.

"Cieee Kakak ditanyain fansnya tuh.." Syatila, menggodaku kemudian meledakkan tawanya. Aku terkekeh dengan kalimatnya.
"Iya.. tau nggak kak?"
"si Kila nanyain kakak terus loh.." tegasnya disusul cekikian, masih belum move-on dari tingkah keponakannya.

Aku selalu senang mendengar tawa Syatila.

"Oh ya?"

"Iya kak.." nada riang masih mengikuti kalimatnya.

"Kamu sendiri, nanyain kakak nggak?" kataku datar (dan diliputi rasa penasaran). Syatila menurunkan intonasi tawa.

"Mmm... Nanyain nggak ya?" detik berikutnya, kami terkekeh.

Boleh jadi malam itu, sekelebat rindu tengah mengisi atmosfir kami.

***

"Udahlah bro, ungkapin!"
"Tunggu apa lagi!" Bimo meyakinkanku untuk segera mengungkapkan apa yang seharusnya diungkapkan.

"Lebay banget.. Hahaha" aku terbahak, bukan dari kalimat Bimo, tapi ia mengatakannya sambil berjoget-joget menirukan tarian india. Siapapun akan terkekeh melihat orang dengan berat badan berlebih berusaha melakukan itu.

"Iya bro.."
"Segera" pungkasku. Ditimpali dua jempol dari Bimo yang terpantul cermin kamarku.

Kadangkala, beberapa sahabat jadi tempat pilihan untuk meyakinkan hati dengan langkah yang akan kita pilih. Termasuk, kutelpon Kamila, teman diskusiku.

"Udahlah bang, coba ungkapin aja.."
"Kalau nggak dicoba kan? Mana mungkin kita tau kan?"
"Iya ngga bang?" kalimat Kamila cukup membuatku memutuskan segala bentuk rantai keraguan.

Entah berapa banyak kalimat sahabat yang kian menguatkan. Dan seusai malam perjumpaan dengan Mbak Siska di Depok, aku memilih, mengungkapkannya.

***

Dalam hiruk pikuk nostalgia rasa,
Sesekali situasi tersulit hanyalah tentang 'mengungkapkan' secara nyata
Tatkala ragu memainkan perannya, berjuta kata dalam pikiran,
hilang di tenggorokan

"Sya, mungkin selama ini kakak salah mengartikan perhatianmu
Dari semua kebiasaanmu menceritakan apa yang kau alami
Dari semua warna senja yang kita berdua suka

Mereka mengatakan bahwa kau memiliki rasa kepadaku
Rasa yang lebih dari dua orang sahabat
Rasa yang lebih dari sepasang kakak dan adik


Aku sempat ragu, mana mungkin kau memilih aku?
Tapi aku teringat satu kalimat, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini

Sampai aku tersadar, kau tidak lagi menanyakan kabarku
Ada sesuatu yang terlewati di ponselku setiapkali aku menggenggamnya
Namamu, diam-diam tidak lagi mengisi keseruan di dalamnya

Kalau benar kau memang menyayangiku Sya,
Kalau benar selama ini kau memilihku
Maafkan aku, karena sudah lancang melakukan hal yang sama
Maafkan aku, karena telah secara sadar, miliki rasa yang sama"


Tapi ketika lidah menjadi kelu,
sebuah hati di seberang sana tetap rela menunggu
Maka pastikan saja jari tangan masih lincah beradu
bersama kalimat terbaik, kepada hati yang dituju

Perasaan harap berlarian dalam batin, Apa yang akan Syatila balas? dan segala prediksi konyol turut menghampiri kepalaku bertubi-tubi.

Memori bersamanya merambati pikiran. Degup jantung tidak sedang dalam tempo semestinya.
Saat itu, aku tidak lagi peduli apa kata Ayah Pidi Baiq melalui Dilan soal:
"aku mencintaimu, biarlah ini urusanku. Bagaimana engkau kepadaku, terserah itu urusanmu."

Sebab situasi ini membawaku pada pesan Ayah Pidi Baiq lainnya bahwa:
 "cinta lebih butuh balasan, ketimbang alasan"

Malam itu membuat langkahku kesana kemari dengan perasaan tak keruan, mengecek ponsel berulang kali, meninggikan volume ponsel, dan akan bersicepat melompat menangkapnya jika tetiba ada bunyi notifikasi pesan muncul dari sana.

Malam itu aku terjaga. Malam itu aku menunggu sebuah balasan, termasuk di dalamnya; balasan perasaan.

***

Akhir pekan mengantarkanku pada perkumpulan 'geng' seperti akhir pekan sebelumnya. Berkumpul dengan jomblo-jomblo lainnya, hanya itu yang bisa kami lakukan di malam minggu (tentu saja kami tidak pernah berharap hujan deras membanjiri pasangan yang menikmati malam itu). Aku lebih dulu sampai di rumah Bimo, Irul, Rizki, dan kawanan lainnya dalam perjalanan.

"Bro.. Gimana kemaren?" Bimo menagih hasil 'pekerjaan hati'-ku dua hari lalu sembari meraih majalah di atas meja dan bersegera menjatuhkan pantat di sofa.

Aku yang sedang asyik menguliti kacang rebus terdiam, bingung, entah, dari mana harus kumulai ceritanya.

"Syatila jawab apa bro?" Mata Bimo tidak lagi menyapu majalah. Ia masih menagih jawabanku.

Aku mengalihkan wajah dari pandangan Bimo. Menghela napas. Menghembuskannya.

Menoleh ke arah Bimo lagi. Menghela napas kembali. Jeda panjang lantas saja memenuhi atmosfir kami.

Kukira, air wajahku tidak siap mengekspresikannya, tapi aku tahu betul, hatiku sudah cukup siap, menceritakan setiap jengkal rasanya.

"Lo yakin mau tau apa yang dia bilang bro?" aku bertanya balik.

Tampak jelas, Bimo tidak sedikitpun ingin berkedip, tubuhnya tidak lagi menempel pada sandaran sofa. Kuat-kuat, ia memasang telinga.

Di dalam nostalgia rasa,
kadangkala, semua harapan tak melulu menjadi kenyataan,
dan semua impi hanya sebatas imajinasi..


Comments

  1. Belum bisa comentar bung, masih berusaha menyatu dan memahami

    ReplyDelete

Post a Comment