"Aku mau ngomong.." Amanda berpapasan denganku di lobby kampus kala jam kuliah sudah berakhir sekitar sejam lalu.
"Kamu ada waktu?" tanyanya bersamaan dengan atmosfir perasaan yang begitu asing untuk dinikmati.
"Iya" aku mengangguk, mengonfirmasi dengan suara 'iya' yang sebenarnya tak terdengar.
***
Sebuah bangku kayu panjang lantai 3 yang berlapis cat cokelat dengan kami yang berlapis rasa canggung. Siang yang hampir digantikan sore itu adalah waktu yang pas untuk mencairkan ego masing-masing, ya, tentu dalam arti sebenarnya.
Amanda menatap jemari tangannya, takut-takut memulai pembicaraan.
"Mmm.. Mau ngomong apa?" kataku datar, berusaha memecah hening. Lantas beberapa detik kemudian, ia menarik napas panjang, mencoba mengeluarkan sesuatu yang membebani perasaannya.
"Aku bingung sama sikap kamu, aku ngga ngerti"
2 detik lebih ia beri pada jeda kata-katanya.
"Seharusnya kamu ngomong, biar aku ngerti"
"Seharusnya kamu ngomong, biar aku ngerti"
Kata-kata Amanda membuatku masuk kembali dalam ruang nostalgia hari sebelumnya. Tentang sikap yang kuambil, tentang keputusan yang kupilih.
"Biar aku ngga nebak-nebak kamu lagi kenapa"
"Aku bingung sama sikap kamu kemarin"
Amanda masih tertunduk sejak kalimat pertamanya mengudara, sedikitpun tidak menoleh ke arahku.
"Aku bingung sama hubungan ini"
"Aku bingung sama kita"
Semua kalimatnya mulai memaksa masuk ke kepalaku tanpa boleh kutelaah satu persatu.
"Sekarang, entah maunya gimana?"
"Aku udah coba ngertiin kamu"
Akupun demikian.
"Tapi kamunya malah begitu.."
"Menghilang tanpa kabar"
Amanda, bolehkah aku mulai bicara, sayang ?
"Aku ngga ngerti sama kamu"
"Aku ngga ngerti.."
"Aku ngga ngerti.."
Bolehkah aku mulai bicara, sebentar saja?
"Aku maunya kamu ngomong kalau aku punya salah"
"Jangan kayak gini, harusnya tuh kamu.."
"Jangan kayak gini, harusnya tuh kamu.."
Kupikir, laki-laki akan tetap mengambil keputusan 'walau menyakitkan' ketika ia merasa disudutkan. Termasuk yang saat itu kulakukan.
"Cukup!" satu kata ini mengakhiri kalimat yang sedang ia coba selesaikan. Kalimatku terlontar dengan nada meninggi, dan tanpa komando, kata "Cukup!" disertai telapak tanganku yang tetiba menampar permukaan bangku cokelat. Tidak begitu keras, tapi cukup untuk membuat perasaan kami memanas. Keheningan lorong lantai 3 kampus tetiba gaduh karena emosiku yang meledak bak sebuah bom atom.
Atmosfir kami kacau balau. Keheningan itu, suasana canggung itu, momen tak mengenakkan itu menjelma jadi situasi yang sudah pasti tidak akan membaik, Sudut mataku bisa menangkap dengan jelas, Amanda tersentak hebat.
Atmosfir kami kacau balau. Keheningan itu, suasana canggung itu, momen tak mengenakkan itu menjelma jadi situasi yang sudah pasti tidak akan membaik, Sudut mataku bisa menangkap dengan jelas, Amanda tersentak hebat.
Pandanganku tetap lurus, aku menghela napas berkali-kali, mencoba meredakan sesuatu yang baru saja keluar dari dalam diriku. Mencoba mengendalikan liarnya sebuah amarah.
Sepersekian detik, Amanda salah tingkah dan gemetar, berusaha merapikan tas yang ada di pangkuannya, hendak bersicepat mengangkat kaki dari tempat kami berada. Aku tahu benar, Amanda tidak percaya dengan apa yang baru saja aku lakukan. Akupun demikian.
"Aku pulang dulu ya.." Amanda berdiri dari duduknya. Nada bicaranya parau. Bodoh, aku membiarkan harinya kacau lagi, sekaligus membiarkan punggungnya menjauh, menuruni anak tangga tanpa sepatah katapun kuucapkan untuk menahan langkahnya.
Di lantai 3 kampus yang telah sepi dari mahasiswa yang tidak lagi sibuk mengais ilmu. Aku tetap sibuk, memaki kebodohanku.
***
"Kak, kakak sibukkah?" sebuah chat Facebook menyembul di jendela browserku. Dari Kamila, seorang calon guru muda, teman diskusi.
"Hai"
"Nggak juga, ada apa?"
"Boleh minta waktunya sebentar, kak?"
"Oh, iya, silakan saja neng" jawabku diakhiri titik koma, strip, dan disusul kurung tutup.
"Oh, iya, silakan saja neng" jawabku diakhiri titik koma, strip, dan disusul kurung tutup.
"Makasih kak"
"minta waktu diskusinya ya kak"
"minta waktu diskusinya ya kak"
"Menurut kakak, bagaimana kondisi pendidikan negara kita sekarang?"
Aku mulai membalas dengan panjang lebar. Di seberang sana ia menyimak, sesekali penasaran dengan membalas "terus?", "oh ya, sepakat", atau "iya juga ya.."
Aku mulai membalas dengan panjang lebar. Di seberang sana ia menyimak, sesekali penasaran dengan membalas "terus?", "oh ya, sepakat", atau "iya juga ya.."
Kami larut dalam obrolan tentang pendidikan negara kami. Kami menyadari banyak hal dari pertanyaan singkatnya, dan tentu saja menimbulkan pertanyaan lain kenapa negara berkembang kami yang amat peduli dengan pendidikan ini belum tampak maju.
"Makasih ya kak"
"Selalu menyenangkan diskusi sama kakak"
"Kapan-kapan kita diskusi lagi yak, hehe" katanya mengakhiri obrolan singkat itu.
"Siap, dengan senang hati neng" kujawab, lupa kalau beberapa jam lalu, aku menerima sms singkat, berisi: "Aku mau kita break dulu" dari Amanda. Lupa bahwasanya kecewa sedang mengisi hampir seluruh ruang perasaan. Dan lupa bahwa hari itu adalah hari yang paling tidak ingin kulewati dalam hidup. Hari-hari di mana aku meninggikan nadaku untuk seseorang yang seharusnya aku muliakan.
Ketika momen itu teringat lagi, aku hanya bisa kembali memaki kebodohanku. Berusaha tangguh dengan prinsip "tidak ada laki-laki yang ingin harga dirinya disudutkan, terlebih didebat" dan berusaha meyadarkan diri bahwa "tidak ada satu perempuanpun di dunia ini yang sanggup dipaksa mengerti"-dengan nada yang tinggi.
Di hamparan nostalgia rasa,
adakalanya perjalanan cinta
tidak baik-baik saja
Pilihannya adalah memperbaiki cara,
atau menuruti hati, menapaki jalan yang berbeda
***
"Ram, ayo makan malam dulu nak" Ibu menyembul dari balik pintu kamar.
"Iya bu, nanti saja" Sesekali kutatap ibu yang berdiri di antara pintu.
"Ingat maag-mu"
"Iya bu, pasti makan kok"
Ibu hanya merespon dengan senyum, dan menghilang, merapatkan pintu kamar. Aku selalu menyukai senyum Ibu. Seperti ada keajaiban di dalamnya, sejenak mampu membuyarkan kita dari lamunan kekacauan perasaan.
"Ingat maag-mu"
"Iya bu, pasti makan kok"
Ibu hanya merespon dengan senyum, dan menghilang, merapatkan pintu kamar. Aku selalu menyukai senyum Ibu. Seperti ada keajaiban di dalamnya, sejenak mampu membuyarkan kita dari lamunan kekacauan perasaan.
Bu, kau tak pernah memaksaku mengerti dirimu, namun kau tidak berhenti mengajarkanku bahwa arti menyayangi adalah berhenti mendebat seseorang yang kita sayangi.
Tahukah, Bu? dirimu adalah bidadari pertama yang menyadarkanku bahwa mencintaimu adalah alasan, bahwa memang, kau pantas untuk kumuliakan.
Bu, jangan biarkan aku mendebatmu, jangan biarkan aku berhenti memuliakanmu.
Bu, doakan aku, agar kelak mampu memuliakan bidadari keduaku..
Bu, doakan aku, agar kelak mampu memuliakan bidadari keduaku..
Comments
Post a Comment