Tak Sayang Maka Tak Bilang

"Dasar cowok PHP" katanya datar disusul senyum ketus.

"Hah? yang bener?" aku ikut heran.

"Iya, begitu.." sambungnya sembari mengangguk, kali ini diselipi hening setelahnya.

"itu, dia bilang langsung ?"

"Engga, di beranda FB, emang ente ngga liat?" tanyanya heran.

"Engga, ane belom ngecek FB, quota modem ane abis"

"Oh pantes.. dua hari lalu sih.."

Aku terdiam beberapa saat setelah menggumpalkan tisu sehabis mengelap mulut.

"Hmm.. cukup wajar dia sampai bisa bilang begitu, tapi di sisi lain, dia juga ngga bilang perasaan yang sejujurnya gimana, kan?" kataku yang mencoba melawan suara lalu-lalang kendaraan di jalan besar, beberapa meter dari 'Jajanan Trotoar' tempat kami duduk.

"Ya intinya sih, ane lebih milih siapa yang bilang duluan" Irul membetulkan duduknya. Berusaha meraih sesuatu di dalam tas kosong yang setia menggantung di punggungnya ke manapun ia pergi.

Aku menoleh kepadanya, mengangguk setuju, kemudian mengarahkan pandangan ke jalan besar. Lesatan kendaraan membias di bola mata. Langit Jum'at sore itu sedang nikmat sekali untuk dirayakan. Angin lembut dari sisa laju-laju kendaraan membuat dedaunan di sekitar jalan melambai pelan. Aku mengambil dua puluh ribu di saku kiri kemejaku.

"Nih, pake ini aja, tadi beli air pake duit ente kan?"

"Oh, iya" Irul meraih uang dan segera menyelesaikan urusan transaksi dengan penjual Bakso Malang.

"Tadi kan ente denger sendiri si Wulan bilang kalau si Nela nangis-nangis di depan dia karena ane nulis nama gadis lain di status FB ane" Irul tertawa sekembalinya dari hadapan penjual.

"Oh, iya, jadi karena itu?" aku tersenyum lebar, menyadari sesuatu.

"Iya, Ram, sebenernya tuh ane bingung sama sikap Nela, selama ini, setiap kali kita ketemu, kalau ane ngejemput dia, ane diminta nunggu di gang rumahnya, ngga boleh ke rumahnya"

"Loh, jadi selama ini ente ngga pernah ketemu orang tuanya atau orang rumahnya gitu?"

"Nah, itu dia, ane juga bingung, kenapa?"

"Iya, ya? Tapi ente udah bilang kalau ente suka sama dia?"

"Ya ampun Ram! udah sering kali!" Irul mengetuk-ngetuk meja dengan telunjuknya, lantas tertawa lagi.

"Selama ini kan, ane ke kontrakan Wulan, selain nyomblangin ente sama Wulan, sekaligus nyari informasi seputar Nela" Irul tertawa. Aku hanya tersenyum, kemudian menyeruput es teh manis yang masih setengah gelas.

"Dari cerita ente, si Nela terkesan mau tak mau, sementara kita, laki-laki, selalu butuh pengakuan" kataku menyimpulkan.

"Nah itu!" Irul bersepakat, lantas menggaruk kepala belakangnya. "Gimana yah? Simpelnya gini, maunya dia sebenarnya apa? dia pernah bilang ngga mau ada hubungan yang lebih, tapi di sisi lain, ane ajak ke manapun dia mau, terus kenapa setelah ane nulis nama Riani dia malah nyindir ane dengan kalimat itu, nah, kenapa coba?"

Aku tertawa. "Kalau dipikir, ane malah bingung juga jadinya, mereka terbiasa pakai kalimat nggak langsung, sedang kita terbiasa dengan to do point, sudah gitu, harus ngerti juga maksud mereka pula" Kami tertawa. Ada sesuatu yang menyadarkan kami kembali.

"Sebenernya hal-hal kayak gitu, udah ngga aneh sih.." lanjut Irul.

"yang kayak gimana?"

"Iya, yang kalimat nggak langsung itu"

"Oh, iya.. bener.."

"Tapi paling nggak, kalau beneran sayang, ya bilang.." kalimat Irul menciptakan ruang hening.

"Tiba-tiba ane punya pepatah baru.." kataku memecah keheningan.

"Pepatah?"

"Iya, pepatah.."

"Apa?"

"tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak bilang, hilangkan kata 'tak' pada pada pepatah barusan!" seruku.

Irul mengerutkan dahinya sejenak dan tertawa. "Oh.. Bisa.. bisa"

"yah, tapi.. kadang kita emang ngga selalu bisa mengartikan sikap orang" lanjut Irul.

Aku mengangguk. "iya, kadang juga kita ngga selalu bisa mengartikan kata-katanya"

"kata-kata?"

"kalimat nggak langsung maksud ane.."

"Oh iya, kadang yang mereka bilang malah berlaku sebaliknya, itu kenapa, sekarang, ane ngga pernah bener-bener megang kalimat perempuan" jelas Irul.

"lumayan sepakat" aku mengangguk.

Irul tertawa. "lumayan ?"

"iya, bahkan ketika ditanya rindu atau ngga, pasti mereka nggak pernah ngaku, jawabannya bukan iya atau ngga, tapi kalimat lain"

"iya bener, kalau ditanya sayang, ngga ngaku juga.."

"padahal mah.." kami berdua mengatakan PADAHAL MAH berbarengan yang lantas membuat kami tertawa. Seusainya, ruang hening kembali memasuki atmosfir kami. Seperti ada tanya di dalam kepala kami tentang hidup yang mesti kami temukan sendiri jawabannya.

"Udah Ram?" Irul bangun dari duduknya, mengonfirmasiku untuk bergabung bersamanya dalam perjalanan pulang ke rumah.

"Oh, Hayuk" kataku segera bangkit.

"Pak Kumis! pulang dulu ah, tengkyu hidangannya, maaf ngerepotin!" Irul berseru seraya melambai ke penjual Bakso Malang.

"Iya, sama-sama Rul!" Pak Kumis menoleh cepat yang sedang sibuk mencampurkan mie kuning, pangsit, tahu putih, dan bakso ke sebuah mangkuk.

"Rendangnya mantap pak! Bumbunya pas!" aku mengangkat dua jempol kepada Pak Kumis lantas menjauh dari hadapannya.

"Rendang ndasmu!" Pak Kumis tertawa kesal. Menyadari bahwa dirinya tak pernah memberi sajian Rendang kepada siapapun.

Tawa kami meninggalkan Pak Kumis dan Gerobaknya. Segera melanjutkan langkah ke halaman parkir kampus.

"kayak kata Pidi Baiq aja si Ram.." kata Irul sembari berusaha memasukkan kepalanya ke helm full-face.

"Eh, apa?"

"cinta lebih butuh balasan, ketimbang alasan" lanjutnya, lalu membuka kunci stang dan memundurkan motor.

Aku membatin sendirian. Kukira, Pidi Baiq benar, cinta lebih butuh balasan, ketimbang alasan. Cinta selalu membutuhkan kejelasan dan penjelasan.

Matahari mulai menyisakan warna jingga di barat. Aku selalu suka matahari terbenam yang mengiringi kami ke peraduan. Di perjalanan, Irul bercerita tentang Riani, gadis yang pada akhirnya ia pilih sebagai pelabuhan hatinya. Gadis yang pernah mematahkan hatinya. Gadis yang membutuhkan kejelasan perasaan.

Sementara mungkin di suatu tempat, Nela masih menikmati patah hatinya dan berusaha menyadari, bahwa yang Irul pilih adalah seorang lama, bukan seorang baru.

Nasuha Dinata
Bdg, 15 Nov 16



Comments