Di Balik Ajakan Shalat Istri Kepada Suaminya

Seorang sahabat bercerita bahwa setelah menikah ia menjadi lebih rajin shalat tepat waktu. “Istriku selalu mengingatkanku untuk shalat tepat waktu,” Dia memulai cerita itu dengan wajah yang berseri-seri.

Saya mendengarkan kisah lanjutannya dengan saksama, dalam hati ingin menirunya agar bisa melakukan kebaikan lebih giat lagi.

“Setiap kali azan berkumandang, sebisa mungkin istriku akan segera meninggalkan apapun yang sedang dikerjakannya, mengambil wudlu, lalu kemudian, jika kebetulan aku sedang di rumah, ia akan mengajakku untuk shalat berjamaah,” sahabat saya melanjutkan ceritanya.

“Kamu beruntung punya istri sebaik itu, Sob!” timpal saya, “Pernikahanmu akan menjadi pernikahan yang bahagia dan penuh berkah!”

Sahabat saya tersenyum bangga. Ah, selalu membahagiakan melihat senyum seorang suami yang membanggakan istrinya.

Tapi, ada sesuatu yang mengganjal hati saya tentang cerita yang disampaikan sahabat saya ini. Bertahun-tahun mengenalnya, jauh sejak sebelum ia menikah, saya mengenal sahabat saya ini sebagai orang yang sering melalaikan shalat. Tak jarang sebenarnya teman-temanmengingatkannya untuk shalat, termasuk saya yang sesekali menegurnya, namun biasanya semua ajakan—bahkan teguran—diacuhkan begitu saja! Bagi saya, sungguh mengagumkan ketika ia menikah, sahabat saya ini bisa dengan begitu tenang dan senang menerima ajakan istrinya untuk shalat. Apa yang terjadi padanya? Apa yang dilakukan istrinya?

Akhirnya saya mengajukan dua pertanyaan itu. Mendengar pertanyaan saya, ia terdiam beberapa saat. Untuk kemudian hanya menggelengkan kepala, “Aku juga nggak tahu! Kenapa, ya?” Dia justru balik bertanya, senyum yang asing tersungging di bibirnya.

Dari sana kami berdua mencoba mencari-cari jawabannya. Kami berdiskusi cukup lama hinggamendapatkan sebuah jawaban yang paling bisa kami terima—

“Kayaknya, ini karena istriku nggak pernah maksa, deh,” Sahabat saya akhirnya mengemukakan temuannya, “Ajakan istriku nggak mengandung semacam sentimen ‘gimana sih kok belum shalat?’ atau ‘shalat tepat waktu kayak gue dong!’”

Saya menganggukk-anggukkan kepala. “Menarik!” Respons saya.

Senyum sahabat saya makin lebar, “Kayaknya itu yang jadi kekuatan. Sesuatu yang bisa menggerakkanku untuk mengikuti ajakannya. Aku tak merasa direndahkan, diremehkan, atau disalahkan. Istriku justru mengajakku shalat dan memintaku jadi imamnya. Seketika ada perasaan haru sekaligus malu dalam diriku. Aku tak bisamenolaknya! Istriku mengajakku dengan rasa cinta!” Ia makin antusias.

“Nah! Nah! Itu dia jawabannya, Sob!” Refleks saya mengarahkan telunjuk saya ke wajah sahabat saya itu.

Sahabat saya mengangguk-angguk. “Keren, ya? Cinta bisa punya kekuatan kayak gitu?” Ia mengonfirmasi.

Saya mengiyakan. “Mungkin dulu saat aku menegurmu, aku gagal menunjukkan bahwa aku mengajakmu shalat karena aku mencintaimu. Tapi istrimu berhasil melakukannya! Istrimu mengajakmu karena ia begitu menghargai, menghormati, sekaligus menyayangimu. Sementara, barangkali, dulu aku mengajakmu hanyaingin mengejar pahala atau sekadar jengah karena melihatmu tak sejalan dengan pengertianku tentang iman dan kebaikan.”

“Cocok! Cocok banget!” Ia setuju dengan pendapat saya.

Kami terdiam beberapa detik. Saling berpandangan dalam tatapan yang kosong, menikmati sesuatu yang tiba-tiba hadir dalam pikiran dan perasaan.

“Sob,” sahabat saya memecahkan keheningan, “Bayangin kalau dakwah Islam dilakukan seperti itu! Dengan cinta di dalamnya!”

Saya tercengang. Tak punya kata-kata apapun untuk meresponsnya. Ada gemuruh dalam pikiran danperasaan. Menggedor-gedor menjadi rasa bersalah. Ah, mengapa selama ini saya mengajak orang kepada kebaikan dengan perasaan yang angkuh? Bukan dengan hati yang penuh dengan cinta—melupakan hikmah dan teladan? Saya mengulang-ulang Surat an-Nahl ayat 125 dalam kepala.

Azan Ashar berkumandang dari kejauhan. Handphone saya bergetar. Ada sebuah pesan masuk. WhatsApp dari istri saya. “Sayang, jangan lupa shalat, ya.” Begitu isi pesan itu. Diakhiri sebuah tanda senyum.

Azan Ashar menggema dalam telinga kesadaran!


oleh: FAHD PAHDEPIE (Fahd Djibran)
source: fahdpahdepie.com

Comments