Sudah Waktunya...

Aku lupa itu bulan apa. Dan hujan baru saja reda. Sungguh udaranya segar sekali. Ditambah satu teguk minuman ringan yang baru kubeli di warung rokok tadi. Betapa nikmatnya siang menjelang sore itu. Ya meskipun memang, aku sedikit gugup ketika melangkah ke kantin kampus. Tapi bukan karena ada si penagih hutang di kantin. Tidak, tidak. Aku tak punya hutang apapun di kantin. Hanya saja, seperti ada satu tabrakan antara batin dan pikiran yang sudah kurasakan berminggu-minggu lamanya. Tapi satu tegukan terakhir tadi cukup membuatku jauh lebih tenang.


Dan ini dia, empat kawanku yang seketika kusapa dengan "bro" dan "hei" dengan sedikit lambaian tangan ketika aku sampai di kantin yang tidak terlalu ramai. Dua wanita berkerudung sedang asyik mengunyah jajanan kantin sembari membaca buku yang tidak begitu ku kenali. Sementara dua lelaki sibuk mengobrol santai sambil menjepit rokok di jemarinya masing-masing. Kepulan asap sesekali menghempas ke udara dari mulut dan hidung mereka. Mereka mengisi meja persegi di tengah kantin.

"Keujanan bro?" tanya Danu sembari menarik asbak dari tengah meja ketika aku menghampiri mereka.
"Lumayan" kataku yang lalu duduk, bergabung.
"Lumayan gimana Mas?" sambung Laura, istrinya Danu.
"Lumayan, kenyang"
"Apasih? Maksudnya? Ga ngerti Mas.. hehe"
"Lumayan kenyang, karena pas ujan tadi gue neduh di warteg, yaudah sekalian aja gue makan siang"
"Alhamdulillah, gitu Mas.."
"Iya, Alhamdulillah, Laura.."
"Hehe"

Aku merapat ke Danu dan Angga, lalu duduk di sebuah bangku pelastik tua warna merah yang agak pudar.
"Widih.. Kayaknya lagi pada sibuk banget nih.. haha" basa-basiku pada Danu dan Angga.
"Hehe.. Rokok terakhir nih bro.." sahut Danu. Angga tersenyum.
"Terakhir?"
"Iya.."
"Yakin Dan?"
"Sesuai janji gue ke Laura, seminggu setelah jadi suaminya, gue mesti berhenti ngerokok" katanya mantap.
"Akhirnyaaa.. gue dukung niat ekstrim lo bro!" aku berseru mendengar berita menggembirakan itu sembari mengacungkan ibu jari dan menggeleng kagum padanya.
"Haha.. iya, for the last time bro.." kata Danu sambil menghujamkan sisa rokok ke dalam asbak. Dan kemudian menghembuskan asap terakhir. Aku terkejut sekaligus tak hentinya kagum dengan keputusan yang diambilnya, di saat yang lain tak peduli rokok bisa merusak tubuh, tapi hari itu sepertinya, cinta berperan lagi, cinta Danu kepada istrinya telah mengalahkan seluruh egonya. Laura dan adiknya, Haura terpaku melihat momen itu, yang lalu keduanya saling bertatapan dan berbagi senyum. Laura tampak bahagia sekali. Dia meluapkan itu dengan mengguncang-guncangkan lengan adiknya. Laura penuh haru hatinya, imamnya sudah siap berubah. Satu langkah lebih baik. Momen yang selalu ditunggunya dan mungkin juga memang sudah waktunya.

Dan singkat saja, akupun tak mau membuang waktuku.
"Bro.. gue pengen ngobrolin yang kemarin" bisik gue ke Danu. Dia sempat terdiam mencerna kata-kataku.
"Oh.. ya bro boleh.." katanya, mengangguk.
"tapi lo bisa omongin sama bini gue kan? gue pengen ke toilet nih, mules" lanjutnya.
"Owh.. oke.. sip!" kataku, sementara Danu langsung menuju toilet. Sedangkan Angga, dia mulai sibuk dengan kepala yang tertunduk dengan wajah menghadap layar handphone dengan sebatang rokok yang masih mengeluarkan asap di antara telunjuk dan jari tengah tangan kanannya.

Aku menarik kursi merapat ke Laura.
"Ng.. Lau.. boleh ngomong bentar?" tanyaku spontan.
"Hah?" Laura bingung, mungkin karena aku tak biasanya begitu.
"Di situ" lanjutku sambil menunjuk sebuah meja lain.
"Kenapa ngga di sini aja Mas?" tanyanya heran.
"Bisa di situ aja? Karena.. penting.. hehe" tawarku.
"Emm.. Oyaudah, oke Mas" katanya setuju. Disusul sinyal tubuh kami untuk segera pindah ke meja sebelah.
"Dek.. titip tas ya.." katanya pada Haura.
"Iya Mbak.." jawab Haura yang sedang larut dengan sebuah buku.
"Eh.. sekalian deh ajak adeknya" pintaku ke Laura.
Laura pasang wajah bingung. Haura seperti terpaku mendengar ucapanku itu, pandangannya hilang fokus dari buku yang sedang dibacanya. Dan perlahan, Haura menoleh ke arahku dan Laura, bergantian.
"Ya biar lebih santai aja sih.. hehe" aku mencoba membuyarkan keheranan mereka. Kemudian Laura mengangguk sepakat.
"Emm. Dek, temenin bentar yuk" pinta Laura ke adiknya.
"Iya, sebentar Mbak.." jawab Haura sambil membuat lipatan kecil di halaman buku yang dibacanya, dan kemudian memasukkannya ke dalam tas.
"Bro.. tinggal bentar ya.." kataku ke Angga.
Angga tanpa suara, dia hanya menoleh sebentar, lalu mengangkat jempolnya tinggi-tinggi ke arahku, dia sedang senyum-senyum sendiri dengan handphone yang ditempelkan di telinga kirinya. Entah suara siapa yang membuatnya tampak terhipnotis.

Kami segera pindah ke meja yang kumaksud tadi, tentu saja dengan rasa penasaran yang tersangkut di kepala dua wanita di hadapanku. Kali ini, kami duduk berhadapan.
"Emang ada masalah apa Mas sampe harus ngomongin di sini?" tanya Laura dengan wajah serius. Haura juga sama.
"Ng.. mulai dari mana ya?" jawabku mencari-cari penjelasan. Kami hening sesaat.
"Ng.. Oke.. Jadi gini, udah beberapa minggu belakangan ini gue galau" kataku ke Laura.
"karena cinta Mas?" tebak Laura.
"bisa dibilang masih ada hubungannya sama hal itu" lanjutku.
"tapi bukan galau juga sih, tepatnya ya.. cuma bingung aja"
"bingung gimana maksudnya Mas?"
"sebelum gue jawab, gue mau tanya, Haura masih suka hunting foto?"
"masih Mas.. tiap weekend dia luangin waktunya seharian buat hunting foto..  kadang ngerengek minta ditemenin sama aku.. ya.. fotografi kan emang hobinya dia.. hehe" jelas Laura. Haura hanya tersipu malu mendengar penjelasan kakaknya. Aku melirik Haura.
"Oh gitu, gue sempet lihat foto-fotonya di FB-nya Haura. Iya, sumpah, keren." kataku dengan decak kagum.
"Makasih Mas.. Aku masih pemula Mas, butuh banyak belajar biar jago kayak Mas" jelas Haura.

Oiya, sekadar informasi agar kalian tahu, namaku Rio, seorang fotografer.

"Bener loh, Hau, keren.. hehe" lanjutku yang disambut tawa kecil mereka.
"Iya.. Makasih Mas.. hehe" jawab Haura, aku tersenyum padanya.
"Jadi gini Lau.." lanjutku..
"Oh.. jadi Mas mau ngajak Haura kerja?" tebak Laura, sebelum aku menyelesaikan kalimat.
"Nah!.." seruku.
"Hehe.. Mas aneh, mau ngajak kerja Haura aja segala pindah meja, kan di sana juga bisa.. ya kan Hau?" kata Laura. Kami seketika tertawa kecil.
Aku menarik napas panjang dan lalu mulai menjelaskan semuanya.
"Jadi gini, dua bulan lagi akan ada pameran yang mesti gue dan tim buat, satu tim isinya dua orang, gue butuh partner, sebelumnya sih udah dapet partner tapi tiba-tiba dia mengundurkan diri, entah kenapa alasannya, tapi yang pasti ketika pertamakali ketemu dia kurang respect sama gue dan tim, jadi mau ngga mau, ya gue mesti cari fotografer baru buat jadi partner gue"
"Owh gitu.. sayang banget ya Mas.." kata Laura, sedikit terkejut dengan kabar itu.
"emangnya tempat yang mau dijadiin tempat hunting itu di daerah mana Mas?" lanjut Laura.
"Khusus tim gue, kebagian tugas untuk beberapa tempat di Amerika, tepatnya bagian Selatan"
"Hah? Jauh banget?!" seru Laura. Wajah Haura serius dengan segala pertanyaan yang belum sanggup dia katakan, tertahan.
"Iya.. gitu deh.. soalnya temanya memang tentang kekayaan alam Benua Amerika"
"Aneh ya.. Indonesia kan punya segudang tempat dengan panorama yang nggak kalah keren dibandingkan negara lain loh Mas, kenapa ngga di sini aja? kenapa harus ke Amerika Mas?" tanya Laura heran.
"Bener banget Lau, tapi tema tentang Indonesia udah empat tahun belakangan kita garap, jadi kita coba lebih berani dengan eksplorasi kekayaan alam di luar Indonesia" jawabku, ringan.
"Oh.. gitu ya?.." kata Haura, dengan ekspresi wajah yang seakan tidak begitu puas dengan jawabanku.
"Yups.." kataku.
"Jadi intinya Mas mau ngajak Haura ke Amerika buat jadi partner kerja?" tanya Laura.
"Iya kurang lebih itu.. Haura Mau?" tanyaku, Laura menoleh ke adiknya, Haura tidak menjawab. Suasanya hening selama hampir semenit. Tentu dengan bau kebimbangan yang mulai terhirup dari Laura dan adik kesayangannya. Laura menatap wajah adiknya, dan sesekali tertunduk. Laura tampak berpikir dalam-dalam. Dan kemudian Laura buka suara.
"Ng.. kayaknya nggak bisa deh Mas.. Amerika itu kan jauh banget ya, dan Aku sebagai kakaknya, nggak bisa ngebiarin adekku pergi sama cowok begitu aja, ya meskipun cowok yang ngajak dia kukenal baik atau deket.. lagipula kita kan tau, Haura nggak mungkin bisa karena masih kuliah.." kata Laura dengan wajah menyesal, menolak permintaanku halus.
"Maaf loh Mas.. Mas pasti bisa maklum kan?" lanjut Laura.

Aku hanya mengangguk dan tersenyum tipis, meyakinkan hatiku yang mulai gugup lagi dengan kalimat inti yang ingin segera kusampaikan sejak aku keluar dari pintu rumah pagi tadi. Kalimat yang kusiapkan dan kudoakan tercapai saat termenung, meneduh di warteg tadi. Kalimat yang kuceritakan pada Ayah dan Ibuku semalam.

~to be continued.

Comments

  1. Nice gan :*
    dinantikan kelanjutannya

    ReplyDelete
  2. terimakasih bung Almuh, mohon bersabar.. :)

    ReplyDelete
  3. Lawa oh lawa 😀😂

    ReplyDelete
  4. Anda punya pengalaman dengan seorang bernama Lawa atau Laura, Disini Rizki? :D

    ReplyDelete

Post a Comment